Monday, 14 April 2014

Ketika Sang Creator Menemukan Putra-Nya (Pengakuan Dennis Bergkamp)


“I really like Arsenal. But you, do you like Arsenal? Or just Arsenal with Trophies?” – Dennis Bergkamp






Dennis Bergkamp diakui mayoritas pendukung Arsenal di seluruh dunia sebagai pemain terbaik kedua sepanjang sejarah klub tercinta ini setelah Thierry Henry. Namun bagi sebagian orang dari mayoritas tersebut, Dennis Bergkamp adalah segala-galanya, melebihi gelar pemain terbaik sekalipun. Banyak fans global Arsenal, yang tidak punya kesempatan lahir dan besar di London, menjadi fans Arsenal karena memuja Dennis Bergkamp, sang creator (maka ia punya nickname God).


Thierry Henry sering disebut King Henry karena rekor golnya di Arsenal. Namun di atas Sang Raja adalah Sang Pencipta. Menyaksikan aksi Dennis Bergkamp tidak berbeda dengan menyaksikan sebuah pertunjukan seni. Kita melihat sepakbola yang tidak lagi dibatasi oleh definisi “olahraga”. Sepakbola juga menjadi “olahjiwa”, sesuatu yang bernilai spiritual, yang menghadirkan “mukjizat” yang sulit dicerna akal sehat.


Sebuah kutipan dari biografinya yang terbaru, Stillness and Speed (yang masih saya tunggu-tunggu kedatangannya) mengkonfirmasi pandangan Bergkamp tentang sepakbola yang berbau spiritual:


“Well, you set yourself goals, targets. And once you’ve got there you want to move on and go further. You keep raising the bar and therefore it’s never good enough. You want perfection. It’s never good enough but it’s within your reach. You climb one mountain and see the higher one. And I want to do it, I want to do that. But I like what you say that it’s a passion – something within the soul, isn’t it? It’s deeper. Whereas ambition, for money or whatever, is more calculating. It can be satisfied. But passion is … no … you keep … you want to grab it. You do the hard thing, always go for the difficult thing, and then you have to go for the next thing.”



Bergkamp tidak melihat sepakbola sebagai alat untuk mengumpulkan kekayaan (berbeda dengan Dutch Skunk yang satu itu). Ia melihatnya sebagai sarana mencapai kesempurnaan. Sesuatu yang bermakna dari dalam, lebih dalam daripada segala kesenangan permukaan luar yang dapat diberikan uang. Bahkan dalam sebuah perbincangannya dengan Arsene Wenger yang juga dikenal sebagai figur holistik, memberikan gambaran kepada kita pandangan spiritual mereka tentang sepakbola:


“Arsène Wenger has an interesting view about this. He says: “It is a spiritual thing. I am convinced of that. I believe you have two kinds of players who play football. Those who want to serve football like you serve God, and they put football so high that everything that is not close to what football should be is a little bit non-acceptable. And then you have those who use football to serve their ego. And sometimes the ego can get in the way of the game, because their interest comes before the interest of the game.


Sometimes the big ego is linked with what we call strong personalities, charisma. But most of the time what people call charisma is just big ego. I believe that Dennis was one of those who had such a high idea of the game and such a respect for the game that he wanted that to be above everything. I believe that the real great players are guided by how football should be played and not by how football should serve them. If it becomes spiritual, it’s endless and you’re always driven to going higher and getting closer to what you think football should be.


Then Wenger gives the example of a player who knows he ought to pass but takes a massive gamble and scores. “If he really loves the game he’ll go home and worry about it. He’ll know he really should have passed to set up an easy chance for someone else. But he was selfish and got lucky. If he doesn’t care about the game he’ll go home and think: ‘That was great – I’ll do the same next time.’


And he says that’s the difference. “That’s why you have to teach the kids to respect the game and treat the game a little bit like a religion, that is above you, where you want to serve the game.”


Wenger mengatakan ada dua tipe pesepakbola:
  1. Pesepakbola yang ingin melayani sepakbola sebagaimana ia melayani Tuhan. Mereka meletakkan sepakbola begitu tinggi sehingga apapun yang tidak sesuai dengan visinya tentang sepakbola, tidak dapat ia terima. 
  2. Pesepakbola yang menggunakan sepakbola untuk melayani egonya. Kepentingan pribadi menjadi lebih utama daripada kepentingan permainan itu sendiri. 

Pesepakbola yang pertama akan selalu melakukan pencarian bagaimana sepakbola seharusnya dimainkan. Pencarian itu menjadi motivasi mereka untuk menjadi lebih baik, lebih tinggi dan lebih dekat dengan idealisme sepakbola. Dennis Bergkamp adalah tipe pesepakbola yang pertama. Ambisinya untuk memainkan sepakbola yang sempurna membawanya untuk selalu mengasah teknik dan visinya, agar ia mampu menampilkan permainan sepakbola yang seharusnya. Ia selalu datang latihan lebih awal dan pulang paling akhir. Cintanya dan pengabdiannya pada sepakbola sudah masuk ke level spiritual, bak pelayanan kepada Tuhan. Sepakbola ditempatkan di atas kepentingan pribadinya, kepentingan permainan sepakbola di atas kepentingan pribadinya. Ia menjadi hamba dari sepakbola.


Beberapa hari yang lalu, Telegraph memuat komentar Dennis Bergkamp tentang Mesut Özil. Wawancara yang sangat menarik dilakukan oleh David Winner, yang juga menjadi salah satu penulis biografi Bergkamp. Selain soal kemungkinan ia kembali ke Arsenal dalam kapasitas sebagai coach, hal menarik lainnya adalah pandangannya tentang Özil. Saya sendiri percaya Özil adalah The Second Coming, pewaris DB10. Mendengar langsung bahwa Bergkamp sendiri menilai Özil sangat tinggi, dan mengakui bahwa ia adalah Creator yang sama dengan dirinya, sempat buat diri ini merinding. Secara tidak langsung ini adalah pengumuman Sang Creator kepada publik tentang siapa pewaris tahtanya.


“Behind every pass there must be a thought.

Özil knows exactly how to control the ball in what kind of space to give himself time. That’s the difference between the players and great players. With his intelligence and his touch and his skills, he is trying to do something right with every ball.”



Bergkamp mengatakan di balik setiap operan, pasti ada gagasan. Dan bagi Bergkamp, Özil mengetahui persis apa yang ingin ia lakukan dengan bola dan mengeksekusinya dengan tepat.


Sebuah contoh analisa Bergkamp tentang isi pikiran Özil ketika melakukan operan yang berbuah gol Wilshere itu kepada Giroud:


“With that pass it seems like Özil was already calculating what the next pass should be. So he puts the ball on the side which means Giroud’s only option is to pass it to the third player. The point is that there is a thought behind that pass. You see that with his control and his movement and that’s what I like.

With all the respect to the other Arsenal players, I think he is the one who can make a difference. The other players are good in midfield. But you need someone of a high-level you can be good in all areas of the pitch.”


Ketika mengoper bola kepada Giroud, Özil sudah memperhitungkan beberapa langkah berikutnya. Ia menempatkan bola ke posisi di mana satu-satunya pilihan Giroud adalah mengopernya lagi kepada pemain ketiga (dalam hal ini Rosicky). Ia tidak memberikan bola kepada Giroud untuk langsung ditembakkan ke gawang. Artinya Özil juga melihat gerakan Rosicky dan Wilshere saat itu. Hal berikutnya yang terjadi adalah Rosicky dengan satu sentuhan membelokkan operan Giroud ke Wilshere dan tembakan first time Wilshere berbuah gol. Bergkamp mampu melihat itu karena ia juga akan melakukan hal yang sama yang dilakukan Özil. Tidak semua pemain bola dapat menganalisa seperti itu, karena level pemahamannya belum sampai ke sana.


Kalau direnungkan lagi, 2 gol Arsenal melawan Swansea juga berawal dari operan Özil. Gol Ramsey yang menjadi gol ketiga Arsenal saat melawan Sunderland juga mengikuti alur yang sama. Özil mengoper ke Giroud pada posisi di mana ia mampu melihat gerakan Ramsey namun ia sendiri membelakangi gawang, sehingga satu-satunya opsi Giroud adalah mengoper kembali ke Ramsey yang bergerak masuk ke dalam kotak penalti lawan. Hal itu dilakukan Özil karena ia membaca gerakan Ramsey dan posisi Giroud dengan sempurna. Hal yang sungguh tidak mudah karena pemain umumnya hanya membaca gerakan satu pemain pada satu waktu.


Mungkin bagi Özil waktu seakan berhenti ketika ia menganalisa gerakan dan posisi pemain di lapangan. Waktu menjadi relatif. Hal ini dimungkinkan ketika seorang pemain sudah demikian terserap dalam sebuah aktivitas. Dalam bela diri, gerakan lawan akan terasa lambat (bak The Matrix) dan refleks kita menjadi lebih cepat. Tidak percaya? Boleh tanyakan kepada para ahli bela diri. :)


Dan Bergkamp juga menjelaskan mengapa kejeniusan Özil ini akan membawa perubahan pada permainan Arsenal secara keseluruhan:


“It looks like it’s a relief to the other players. ‘Oh yes this is what we want’, ‘Oh this is a great ball’. They are adapting to Özil, and moving into spaces where before maybe they didn’t do that because maybe they weren’t expecting the ball.”



Pemain Arsenal lainnya akan menyesuaikan diri dengan operan dan gerakan Özil. Mereka akan mempelajari hal-hal baru, tentang kejeniusan Özil melihat ruang dan waktu dalam beberapa langkah ke depan bak seorang pemain catur. Mereka akan masuk ke ruang-ruang baru di mana Özil akan memberikan operannya, hal yang tidak mereka lakukan sebelumnya karena belum ada pemain yang bisa melihat itu. Secara keseluruhan, pemain Arsenal lainnya akan bergerak lebih efisien, lebih mematikan, dan lebih tidak terduga oleh lawan. Semua berkat operan Özil. Dan Bergkamp bisa melihat itu.


Mengapa Bergkamp bisa melihat itu? Karena ia sendiri melakukannya. Masih ingat operannya kepada Ljungberg ketika Arsenal melawan Juventus? Saat itu ia menggocek bola di depan kotak penalti lawan, dikerubungi 3 pemain lawan. Ia menunggu dan menunggu hingga Ljungberg masuk ke kotak penalti, lalu memberikan operan lob tanpa melihat dan gol pun tercipta dari kaki Ljungberg. Lihat kesamaannya dengan Özil yang membawa bola di pinggir garis belakang lapangan Napoli dan menunggu Giroud di posisi yang pas sebelum memberikan assist-nya. Dan operan-operan Özil kepada Walcott di game vs Sunderland yang sayangnya tidak berbuah gol namun sudah membawa kita bernostalgia pada operan-operan Bergkamp kepada Henry.


Özil mungkin belum ada di level Bergkamp saat ini namun tidak ragu lagi ia akan mencapai level yang sama, dan itu akan ia lakukan di Arsenal. Ia boleh jadi baru bermain di beberapa pertandingan dan mungkin pernyataan ini akan terasa terlalu dini. Tapi siapalah kita sehingga berani membantah kata-kata Sang Pencipta?


Percaya saja dan saksikan Mukjizat Putra-Nya.




Disclaimer:
Tulisan di atas merupakan tulisan saudara Benny Handoko dan saya publikasikan ulang disini.
Sumber: https://benhan8.wordpress.com/2013/10/10/ketika-sang-creator-menemukan-putra-nya-pengakuan-dennis-bergkamp/