Monday, 2 September 2013

Kisah Perebutan Stasiun Kereta yang Menyulut Permusuhan Arsenal-Sp*rs

Orang "luar" mungkin terlanjur tahu bahwa Arsenal versus Tottenham Hotspur adalah derby London Utara. Buat orang Spurs, kaum The Gunners adalah pendatang dari tenggara, bukan asli utara.


Kepada teman yang berkunjung ke London dan menginap di rumah, bagi yang penggemar bola apalagi penggemar Tottenham atau Arsenal, saya paling suka mengajak mereka menelusuri tempat-tempat yang terkait dengan kedua klub ini. Bukan karena saya punya misi khusus, tetapi kebetulan saya tinggal di komplek perumahan di daerah Plumstead Common, London Tenggara, tempat Arsenal lebih seratus tahun lalu dilahirkan, dan untuk menunjukkan betapa sejarah dua klub ini erat bersinggung.

Saya akan membawa mereka ke komplek (bekas) pabrik pembuatan senjata di Woolwich Arsenal, yang sekarang berubah menjadi komplek perumahan mahal bernama Royal Arsenal. Komplek itu sekaligus menjadi tempat wisata lengkap dengan museum meriamnya dan pelabuhan di pinggir Sungai Thames yang sangat terkenal itu.

Seperti diketahui, adalah inisiatif pegawai dari pabrik senjata itu yang menjadi cikal bakal Arsenal yang sekarang. Dua kandang awal Arsenal, Manor Ground, sekarang berubah menjadi gudang industri, dan Invicta Ground, sekarang tak bersisa menjadi perumahan penduduk yang agak kumuh, berada tak jauh dari pintu masuk sebelah timur pabrik senjata itu.




Tidak semua teman pendukung Arsenal tertarik dengan kunjungan itu karena memang sulit untuk bisa merasakan greget pentingnya akar London Tenggara Arsenal kalau bukan orang lokal. Sementara teman pendukung Tottenham merasa, buat apa mengunjungi tempat lahir Arsenal.

Tak apa. Saya sangat bisa mengerti kedua sentimen itu, dan tak rugi-apa-apa. Toh untuk sekadar melewati dan menunjukkan tempat-tempat itu hanya makan waktu tak lebih dari 15 menit pakai mobil. Atau bisa dilakukan sambil lalu ketika berangkat ke pusat kota, yang harus dimulai dari stasiun kereta api atas tanah (atau dikenal dengan British Rail) Woolwich Arsenal, yang bersebelahan dengan tempat-tempat yang saya sebutkan tadi.

Biasanya, baru setelah kami menyeberang Sungai Thames dan berada di London Utara, mengunjungi baik Tottenham (White Hart Lane) ataupun Arsenal (Emirates) --keduanya hanya terpisahkan sejauh sekitar 5,5 kilometer--, saya bisa menjelaskan dengan mudah mengapa tempat kelahiran Arsenal di Plumstead itu menjadi penting.



Penggemar bola, begitupun juga media, sering melukiskan persaingan sengit Tottenham dan Arsenal dikarenakan mereka bertetangga, berebut wilayah. Ada benarnya tentu saja. Tetapi dengan memahami kelahiran Arsenal di Plumstead tahun 1886, ia memberi konteks persaingan Tottenham-Arsenal yang berbeda. Ada sebuah permusuhan yang lebih mendasar lagi, sebuah persoalan resentment (rasa penolakan yang sengit) oleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain yang dianggap asing, bukan penduduk asli, pendatang.

Dan pintu masuk cerita yang saya gunakan selalu sama, ketika kami berhenti di sebuah stasiun kereta api bawah tanah bernama Arsenal. Sebuah stasiun kereta api di jalur bernama Piccadilly yang melayani London Utara menembus pusat kota dan berujung di bandar udara Heathrow di London Barat. Hanya sebuah stasiun kecil, sepi, terjepit (dalam arti yang sesungguhnya) di antara deretan rumah penduduk. Akan tetapi, menyebut keberadaan stasiun itu ke penggemar Tottenham, itulah tumpahan minyak abadi bagi api yang terus mengingatkan akan hilangnya sebuah wilayah yang direbut pendatang dan tak akan pernah lagi kembali.

Stasiun Arsenal itu dulunya bernama Gillespie Road. Namun di tahun 1932 jawatan kereta api London, tunduk di bawah tekanan pengurus Arsenal FC, mengganti namanya menjadi Arsenal. Untuk memenuhi persyaratan resmi penggantian nama itu, jawatan kereta api London bahkan harus memperbaharui semua peta kereta api yang ada di setiap stasiun kereta api di London. Kini, satu-satunya yang mengingatkan nama asli stasiun itu hanyalah mural bertuliskan Gilespie Road di dinding dalam peron stasiun yang untuk alasan cagar budaya tidak boleh diganti.


Pengurus Arsenal memang menginginkan pergantian itu agar asosiasi kewilayahan mereka termantabkan, termaktubkan abadi setelah pindah dari Plumstead tahun 1913. Mereka sadar, bagaimanapun mereka adalah pendatang dan harus mencari cara untuk menancapkan akar kewilayahan mereka. Pergantian nama stasiun adalah salah satu wujudnya.

Mereka berhasil. Jarangnya rumah penduduk di daerah itu puluhan tahun silam membuatnya seperti hanya melayani Highbury, kandang Arsenal saat itu, yang berjarak tak lebih dari seratus langkah dari stasiun. Stasiun Arsenal seperti satu-satunya alasan untuk melayani klub Arsenal. Bahkan hingga kini stasiun Arsenal merupakan satu-satunya stasiun kereta api dengan nama mengikuti nama sebuah klub sepakbola.

Tottenham tentu saja sekuat tenaga berusaha untuk mencegah pergantian nama itu. Mereka khawatir dan paham gelagat, pergantian nama itu adalah sebuah simbol: Arsenal yang sebelumnya dianggap tamu tak diundang dari seberang selatan Sungai Thames telah menancapkan kuku dan akan menetap selamanya.

Sejarah membuktikan langkah Arsenal maupun kekhawatiran Tottenham benar adanya. Penamaan itu seperti memberi keabsahan kewilayahan bagi Arsenal, keabsahan bahwa mereka bukan lagi pendatang, keabsahan bahwa mereka berhak untuk hidup dan berkembang di tempat itu dan sekitarnya. Dengan pengukuhan nama stasiun itu, sebelum persoalan dibawa ke lapangan bola, Tottenham sudah ketinggalan skor 0-1.


Anda pasti mengerti, mentalitas orang Inggris ini sebenarnya insular -- dari kata Latin insularis, lalu menjadi insula dan kemudian menjadi kata dasar bahasa Inggris island (pulau). Sebuah kata sifat yang menggambarkan sikap yang abai, tidak tertarik dengan budaya dan pemikiran orang lain, tidak tertarik dengan yang ada di luar jagat kehidupan mereka ataupun wilayah pengalaman kelompok lain.

Sifat ini terbentuk karena Inggris Raya pada dasarnya adalah sebuah pulau yang terpisah dari negara-negara sekitarnya. Laut menjadi benteng dari hiruk pikuk yang terjadi di Eropa Daratan. Segala sesuatu (nilai-budaya-pemikiran-agama) yang datang dari luar kepulauan Inggris Raya selalu seperti ter-Inggris-kan terlebih dahulu sebelum diterima masyarakat kebanyakan. Harus ada cengkok khas Inggrisnya.

Bukan berarti Inggris tidak mengalami pergolakan dan apa yang terjadi di negara tetangga tidak berimbas. Namun laut yang mengelilingi Inggris memberi situasi yang relatif stabil sejak negara ini bersatu sekitar 1.000 tahun yang lalu.

Bandingkan dengan Eropa daratan yang terus saja bergolak hingga sekarang: eksperimen politik yang tidak pernah selesai --dengan Uni Eropa-nya misalnya, batas wilayah kenegaraan yang terus menerus berubah-ubah-- bahkan hingga abad 20 ketika Perang Dunia I pecah hingga keruntuhan Uni Soviet, bersatunya Jerman dan pecahnya Balkan.

Tak heran kalau warga Inggris ini selalu curiga dengan pendatang dan segala sesuatu yang berbau asing-dari luar. Bagi mereka persoalan kepemilikan dan kemandirian wilayah adalah segalanya. Yang dari luar selalu saja hanya membawa persoalan. Keengganan Inggris untuk secara penuh masuk ke Uni Eropa ataupun melepas poundsterling ketika anggota Uni Eropa menerima (mata uang) euro, sedikit banyak didasari oleh mentalitas insular ini. Seberapapun mereka memerlukan Eropa sebagai mitra bisnis, politik dan pertahanan tetap saja mereka curiga Eropa (asing-luar) adalah ancaman.

Tetapi kembali ke persoalan Tottenham, kalau di zaman sekarang saja insularitas masih mewarnai sikap pemerintah Inggris, maka bisa dibayangkan ketika puluhan tahun silam Arsenal berhasil mengubah nama stasiun Gillespie Road menjadi Arsenal. Persoalan insularitas ini bukan hanya di tingkat negara, tetapi juga di tingkat yang lebih kecil. Antarkota, antarwilayah dalam satu kota, antaretnis, antarklub sepakbola dan seterusnya dan sebagainya.

Bagi Tottenham kedatangan Arsenal hanyalah pembawa persoalan yang terbukti bebannya masih saja mereka tanggung hingga sekarang. Apalagi kalau dikaitkan dengan prestasi yang untuk 20 tahun terakhir Arsenal boleh dikatakan berada di atas mereka. Untuk mengatakan raja di kampung sendiri saja Tottenham tidak bisa melakukannya.

Bagi Tottenham Arsenal selalu dianggap tak lebih klub London Tenggara yang menumpang di tanah mereka. Pendatang. Asing. Tak peduli walau Arsenal telah berada di London Utara selama 100 tahun dan mengurat akar, jauh lebih lama dibanding keberadaan di Plumstead yang hanya 27 tahun.

Anda mungkin menganggap cerita saya ini berlebihan. Tetapi tahukah anda bahwa hingga detik ini pendukung Tottenham tetap menyebut stasiun Arsenal dengan Gilespie Road dalam pembicaraan sehari-hari? Tahukah juga anda bahwa ketika di tahun 2006 Arsenal boyongan dari Highbury ke Emirates, yang jaraknya hanya sepelemparan baru itu, pendukung Tottenham mengajukan petisi meminta pemerintah London untuk mengembalikan nama stasiun Arsenal kembali ke Gilespie Road?

Permintaan itu tak digubris pemerintah London. Mereka (pemerintah London) seperti mengatakan,
"Kamu lihat lapangan bola itu. Masuk sana dan buktikan kalau kamu memang pemilik London Utara."



London, 27 Agustus 2013
Disclaimer:Tulisan di atas merupakan ulasan dari saudara Yusuf Arifin dan saya publikasikan ulang di sini.Sumber: http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2013/08/28/115713/2342917/1489/kisah-perebutan-stasiun-kereta-yang-menyulut-permusuhan-spurs-arsenal